Yang Lebih Menakjubkan dari Mukjizat

Inilah Madinah, pekan-pekan menjelang Perang Ahzab.

Pada hari-hari itu, sebagaimana diceritakan oleh Jabir ibn ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, jatah makan untuk setiap penggali Khandaq di kota Madinah adalah sebutir kurma, seteguk air, dan tepung yang diadoni minyak panas. Seberapa banyak tepung itu? “Jika tangan kami terbasuh air kemudian dimasukkan ke dalam kantung persediaan tepung”, ujar Jabir, “Maka tepung yang menempel di telapak yang basah itulah jatah makan sehari kami.”

Tentu saja, sebab terbayangkan bahwa pengepungan pasukan Quraisy dan sekutunya akan berlangsung lama.

Dan para sahabat kian merasa malu ketika Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang turut bekerja bersama mereka sejak di hari pertama mengangkat beliungnya untuk menghantam batu terkeras yang mereka temukan di jalur penggalian parit pertahanan. “Allahu Akbar”, beliau bertakbir, mengabarkan akan sampainya Islam dan kaum muslimin ke Syam, Persia, dan Yaman. Selain iman yang semakin terukir lagi berkibar, di benak para sahabat tersisa rasa getir yang menggeletar.

Ada dua batu di sana. Terselempit di sela sabuk celana Rasulullah yang mengganjal perutnya. Aduhai, bagaimana tak terbit airmata. Kekasih Allah yang paling mulia, lebih lapar dibandingkan seluruh sahabatnya. Dia ada bersama, dalam suka dan duka. Dia turut bekerja, tak ingin istimewa. “Seandainya kami duduk saja sementara Sang Rasul bekerja”, demikian senandung orang-orang Anshar yang lalu dinasyidkan semua, “Jadilah ia bagi kami hal yang membawa sesat selamanya.”

Tibalah hari itu, ketika Jabir ibn ‘Abdillah pulang dengan air mata menggenangi pelupuk dan dada sesak. “Wahai istriku”, panggilnya, “Demi Allah, apakah yang masih engkau miliki? Demi Allah, aku tak tega melihat rasa lapar yang menyiksa Rasulullah. Andai selain beliau, pasti sudah tak sanggup menahannya!”

“Hanya ada seekor anak kambing”, jawab sang istri gugup, “Dan segenggam tepung kasar di persediaan kita”.

“Keluarkanlah semua. Aku akan menyembelih dan menguliti anak kambing itu. Kau adonilah tepungnya menjadi roti.”

Ketika akhirnya masakan itu siap, Jabir pun mendatangi Sang Nabi dengan mengendap-endap. “Ya Rasulallah”, bisiknya kemudian, “Ada sekedar roti dan sedikit daging di rumah kami. Berkenanlah untuk sejenak datang dan menyantapnya.”

Beliau tersenyum dan mengangguk. Dipanggillah seseorang dan diperintahkan untuk mengumumkan kepada semua penggali parit, “Semuanya, datanglah ke rumah Jabir untuk makan bersama!” Betapa gugupnya Jabir melihat itu. “Aduhai celaka”, batinnya panik, “Aku hanya meminta beliau untuk bersantap tapi beliau mengajak seluruh Muhajirin dan Anshar!” Tapi Rasulullah tersenyum padanya, menepuk bahunya, dan menggamit lengannya. Tak bisa tidak Jabir hanya bergumam, “Demikian inilah Rasulullah!”

“Jangan kalian buka penutup wadahnya”, ujar Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau juga meminta kedua suami istri yang saling berpandangan dengan khawatir itu untuk sejenak menyingkir. Kemudian beliaupun berdoa dan memohon berkah atas hidangan itu. “Masuklah rombongan berrombongan dan jangan berdesakan”, perintah beliau kepada seluruh hadirin.

Kelompok demi kelompok mereka masuk, sedangkan Nabi mengambilkan roti dan menuangkan masakan daging ke atasnya. Beliau berkhidmah pada semua sahabatnya, satu demi satu, hingga yang terakhir. Padahal penggali parit dalam Perang Ahzab, kira-kira 3000 jumlahnya. Semuanya makan, semua merasa kenyang, dan puas. Tiba giliran Jabir dan istrinya, dan Rasulullah masih melayani mereka, baru sesudahnya beliau makan dengan penuh kesyukuran. Beliau mengucap terimakasih pada keduanya dan mendoakan kebaikan, lalu beranjak.

“Demi Allah”, ujar Jabir, “Ketika kuperiksa wadah makanan kami, roti maupun dagingnya masih utuh seperti semula.”

Mu’jizat ini mengagumkan. Tapi apa yang dilakukan Rasulullah dengan menjaga kebersamaan dalam suka dan duka, terlebih lagi bagaimana beliau melayani para sahabat dengan tangannya sendiri adalah lebih menakjubkan. Inilah Nabi, penghulu alam semesta. Maka beliaupun menjadi pelayan yang paling rendah hati bagi sesama.

Hatta kelak di akhirat, di perjalanan seluruh manusia antara kebangkitan dan penghimpunan, beliau akan bersiaga di tepi sebuah telaga yang lebih harum dari kasturi. Beliau menyambut ummatnya, melayani mereka minum dari airnya yang lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Tapi wajahnya mendung tiap kali beberapa manusia dihalau dari Al Kautsar. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”

Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”

Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga Shan’a di Yaman. Di sisinya ada gelas kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dan inilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sang pelayan yang paling menakjubkan.

 

sumber : http://salimafillah.com/yang-lebih-menakjubkan-dari-mukjizat/

La Tahzan

1. Hidup hanya 3 (tiga) hari.

Hari kemaren, hari ini, dan hari esok

Lupakan hari kejadian kemaren, karena mengenang masa lalu adalah tindakan bodoh, hanya akan membuat kita bersedih dan kesedihan tersebut tidak akan merubah kejadian dimaksud. Jangan bersedih, karena kesedihan hanya akan membuatmu lemah dalam beribadah, membuatmu malas untuk berjihad, membuatmu putus harapan, menggiringmu untuk berburuk sangka, dan menenggelamkanmu ke dalam pesimisme. Jangn bersedih, sebab rasa sedih dan gundah adalah akar penyakit jiwa, sumber penyakit syaraf, penghan-cur jiwa, dan penebar keraguan dan kebingungan. Jalani saja hari ini, karena hari ini adalah hari kita yang harus dinikmati. Jangan mereka-reka kejadian hari esok yang masih ghaib, karena akan membuat kita cemas, dan kecemasan akan mengganggu kita dalam menjalani hari ini.

2. Tanyakan pada diri anda tentang hari ini, kemaren, dan hari esok.

Akankah saya akan menunda kehidupan hari ini karena takut akan hari esok ?

Akankah sy harus menjadikan hari ini menjadi sdemikian getir dgn membayangkan hal-hal yg telah terjadi d masa lalu?

Akankah saat bangun di pagi hari, saya telah bertekad untuk menggunakan sebaik-baiknya hari ini dan mengambil faedah yang sebesar-besarnya dari waktu yang hanya berjumlah dua puluh jam ke depan?

Akankah saya mampu mengambil faedah dari rangkaian detik demi detik dalam kehidupan hari ini ?

Kapan saya akan melakukan itu semua? Minggu depan? Besok?, atau hari ini?.

3. Jangan memakai baju orang lain

Kita dilahirkan ke dunia tidak persis sama dengan bermilyard-milyard manusia lainnya yang ada dimuka bumi ini, maka janganlah kita meniru-niru diri orang lain yang mengakibatkan kita kehilangan indintitas yang sudah kita miliki, jadilah diri kita sendiri.

4. Nikmatnya rasa sakit.

Jangan bersedih jika sedang menderita sakit, karena mungkin dengan sakit tersebut justru akan mendatangkan kebaikan bagi si sakit. Biasanya pada saat sakit kita akan ingat kepada Allah, dan memanjatkan doa dengan lebih tulus lagi. Dan yang lebih penting, bahwa sakit tersebut merupakan peringatan atau teguran dari Allah agar lebih mengingatNYA lagi. Apabila kita sakit, maka seharusnya kita bersyukur karena kita ditegur oleh Sang Maha Pencipta, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

5. Nikmatnya ilmu pengetahuan.

Kebahagian, kedamaian, dan ketenteraman hati senantiasa berawal dari ilmu pengetahuan, karena ilmu mampu menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, dan menyingkap yang tersembunyi. Selain itu naluri dari jiwa manusia adalah selalu ingin mengetahui hal-hal yang baru, dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik.

Diambil dari buku La Tahzan – Jangan Bersedih ! Karya DR. Aidh Al-Qarni

Anna Maria Salsabila

ilustrasi
Islamedia – Namanya Anna Maria Salsabila. Dia anakku yang ketiga, perempuan satu-satunya. Anakku yang lahir di Ponorogo ini biasa dipanggil Jeng Bila alias JB. Dia dipanggil JB jauh sebelum Justin Bieber ngetop. Nama JB dinisbatkan dari Anna Mariam Fadhilah, nama anak sulung mentor suamiku, yang sekarang sudah menjadi menteri.

JB mulai masuk sekolah TK di Yogyakarta pada umur tiga tahun. Dia sudah suka bicara sejak kecil, hingga aku berkata kepadanya, “Nanti JB jadi presenter ya. Ngomong tapi dibayar..”.

JB adalah anak yang pemberani. Pernah teman sekelasnya pada ribut, padahal dia ingin bicara.

Tiba-tiba dia berteriak keras sekali, atau tepatnya menjerit, “Diiiam!! Jangan ribut! Jeng Bila itu mau bicara. Tahu!!”. Ketika teman-temannya kaget, diam, bahkan ada yang nyaris menangis ketakutan, JB berbicara mengemukakan buah pikirannya.

Suatu saat dalam perjalanan mobil di kota Yogyakarta, bersama dua sepupunya yang lebih tua, ada mobil ambulance bersirine lewat.

“Ada mobil polisi”, kata sepupu pertama.
“Bukan, itu mobil Terang Bulan”, sanggah sepupu kedua.
“Kata Umi, itu mobil ambulance”, ujar JB membenarkan. Dia memang pintar. Bahkan sudah “pintar” sejak kelahirannya. Ada aturan di BUMN tempat suamiku bekerja. Jumlah jiwa yang ditanggung oleh negara, yang semula tiga anak, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1997, dirubah menjadi dua anak saja. Maka JB pun “keluar” pada tanggal 16 Pebruari 1997. Kalau saja lahirnya mundur dua minggu kemudian, maka statusnya adalah “anak swasta” yang tidak ditanggung negara.

JB sudah biasa kami didik agar tegar dan mandiri sejak kecil. Suatu ketika JB pindah TK baru di Lumajang. Kami mengantar JB ke sekolah baru itu. Kemudian JB kudekatkan dan kukenalkan kepada ustadzahnya. Di depan guru itu, aku berkata kepada JB, “Umi mau pulang. Mau jihad, mau bekerja. JB yang saliha dan hebat ya”.

JB terlihat agak stress dan ingin menangis. Dengan pelan namun tetap tegas, aku berkata, “JB boleh menangis kok. Tak apa”. Dan aku pun pulang dengan tenang, tanpa menoleh ke belakang.

Sedikitpun. JB tidak jadi menangis. Dia menangis pun, aku akan tetap meninggalkannya. Jika aku tidak percaya kepada ustadzahnya, tentu tak akan kusekolahkan di sana.

Esoknya ketika mengantar JB lagi, aku mengulang ritual yang sama. Mendekatkan JB kepada ustadzahnya, dan berpamitan, “Jeng, Umi mau pulang. Mau jihad, mau bekerja. JB yang saliha dan hebat ya”.

Apa respon JB? Dia tidak menangis karena tahu tidak ada gunanya. Namun dia berkata, “JB tidak nangis kok. Cuma ngantuk”.

Aku pun menjawab santai, “Tidur juga tak apa kok”.

Sebenarnya JB sempat juga dipanggil Capres alias Calon Presenter, namun sewaktu kelas enam SD di Banyuwangi dia ingin menjadi psikolog handal dan penulis kondang. Kebetulan kami punya psikolog langganan yang sering kami ajak sharing. Sejak itu JB dipanggil Capsi alias Calon Psikolog.
Untuk mendukung impian itu, kami menyiapkan buku-buku dan novel-novel psikologi, Psikologi Nabi, Chicken Soup Psikologi, Ensiklopedia Psikologi, Tetralogi Laskar Pelangi, Life Excellent, Ketika Cinta Bertasbih dan novel berlatar psikologi, serta beberapa biografi orang-orang hebat. Ketika menjelang kelulusan SMP, kami merencanakan JB melanjutkan studi di Pondok Modern Gontor Putri. Awalnya JB menolak, bahkan menangis karena itu. Tapi kami tidak putus asa. Bersama suamiku, aku memotivasi anak kesayangan kami itu.

“Di Gontor, JB bisa menguasai bahasa dunia: bahasa Inggris, dan bahasa surga: bahasa Arab, tanpa harus kursus.” Ini amat mendukung impianmu untuk menuntut ilmu psikologi di Harvard University. Kau juga bisa mengamati perilaku puluhan teman sekamar dan ribuan teman se pondok untuk modal kuliah.

Kami menceritakan, orang-orang hebat semisal DR. KH Hasyim Muzadi, Prof DR. H. Dien Syamsuddin, MA, DR. H. Hidayat Nurwahid, MA, Emha Ainun Najib dan lain-lain adalah lulusan Pondok Gontor. Kami juga membelikan novel karangan penulis alumni Pondok Gontor. Negeri 5 Menara, Man Jadda Wajada, Opera Van Gontor dan Ranah 3 Warna adalah beberapa diantaranya.

Untuk menjadi psikolog dan penulis, Pondok Gontor adalah tempat yang amat tepat. On the right track, istilah kami. Alasan itulah yang kami gunakan ketika ada kerabat dan sejawat yang mempertanyakan kenapa JB kami pondokkan di Gontor, padahal anak itu pintar, NEM SMP rata-rata 9,20, dan kami dianggap mampu secara ekonomi.

Akhirnya JB memutuskan menerima dengan senang hati. Salah satunya adalah karena dulu ketika kami pindah tugas ke Banyuwangi, JB membayangkan Banyuwangi itu enak. Dan ternyata enak beneran. Ketika pindah dari Banyuwangi ke Pati, JB membayangkan Pati itu tidak enak. Dan ternyata tidak enak betulan. Kemudian ketika pindah dari Pati ke Kediri, JB membayangkan Kediri itu enak, dan lagi-lagi, ternyata benar-benar enak. Maka JB mengatur mindset-nya, membayangkan Pondok Gontor itu enak. Agar betul-betul enak. Dia kuatir jika menganggap Gontor itu tidak enak, nanti tidak enak beneran. Toh JB tahu, kami tidak mudah ditaklukkan. Tak ada alasan kuat untuk merubah keputusan itu. Lebih dari itu, dia tahu bahwa Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya kepada-Nya.

Bagusnya, ketika sudah memutuskan untuk ke Pondok Gontor, JB malah memotivasi teman SMP-nya yang bimbang masuk ke sana. Sayang sekali karibnya itu akhirnya escape karena beda kebiasaan dan bioritme harian.

Ketika mengantar JB ke Pondok Gontor, suamiku agak kuatir. Ada rasa berat berpisah dengan anak bungsu nan cantik dan pintar itu. Namun aku yakin, JB amat adaptif karena sudah biasa pindah sekolah. Hingga lulus SMP, JB sudah sekolah di 2 TK, 3 SD dan 3 SMP. Tak heran, JB yang justru menguatkan Abinya. Dia berkata, “JB tak apa kok. JB akan baik-baik saja. Shaliha dan hebat”. Lalu dia membalikkan badan meninggalkan kami, tanpa menoleh ke belakang. Sedikitpun. Dan, aku mengabadikan kejadian itu dengan puisi sederhana, dan penuh haru.

Sepuluh tahun lalu
di TK barumu
aku berkata:
“Yang shaliha dan hebat ya..”
lalu aku membalikkan badan
dan meninggalkanmu
tanpa menoleh kebelakang
sedikitpun!

Hari ini
di Pondok Modern Gontor Putri
giliranmu berkata:
“Ananda akan baik-baik saja
shaliha dan hebat..”
lalu kau membalikkan badan
dan meninggalkanku
tanpa menoleh ke belakang
sedikitpun! ***

NUR SYA’DIYAH AMANATI
PERUM TOMPOTIKA
MANYAR TIRTOASRI, SURABAYA

sumber : http://www.islamedia.web.id/2013/11/aytktm-anna-maria-salsabila.html

Kidung Cinta Untuk Istri Tercinta

pasangan

Islamedia – Istriku, mengarungi bahtera rumah tangga yang indah dan penuh barakah bersamamu, membuatku ingin mengenang saat-saat menyenangkan puluhan tahun silam. Saat kita di kota Bogor menuntut ilmu. Saat aku jatuh hati kepadamu. Aku tahu, kau masih menyimpan surat cintaku, yang kutulis dengan penuh perasaan, usai shalat hajat, di ujung senyap malam. Surat yang sangat sederhana, namun sarat makna:

“Bismillaah
aku mengkhitbah
shalat istikharahlah
Faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallaah..”

Dan aku memberitahu ibunda untuk memohon doanya. Doa seorang ibu kepada anaknya amatlah mustajabah. Takada hijab dengan Tuhannya. Apalagi ibunda menginginkan aku menikah dengan gadis sekota. Dan aku menaatinya. Kau pasti tahu, ketaatan anak laki -sebelum dan sesudah menikah, adalah kepada ibunya.

Setelah tiga bulan menunggu, kau menjawabnya. Tepat sepekan usai hari raya Idhul Adha, sepulangku dari Samarinda. Surat jawaban yang juga amat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari yang kuduga:

“Aku bersedia dikhitbah..”

Akhirnya kita menikah dengan sederhana. Disaksikan keluarga dan tetangga dekat. Ada yang tidak biasa. Kita tidak membuat surat undangan seperti kebanyakan orang, namun cukup membuat surat pemberitahuan bahwa diantara kita telah terikat tali pernikahan suci. Aneh memang. Dan kita menikmati keanehan itu.

Istriku, lima tahun usia perkawinan, kita dianugerahi tiga anak yang shalih dan shaliha. Lahir di tiga kota yang berbeda: Rembang, Surabaya dan Ponorogo. Kau memang luar biasa. Saat melahirkan Calon Profesor, anak pertama, aku sedang pendidikan di Pusdik Kehutanan Cepu. Aku tidak bisa menungguimu. Kau biasa saja. Tetap ceria. Saat melahirkan Calon Direktur, anak kedua, aku sedang gila kerja, hingga meninggalkanmu sendirian di RSU Pacar Keling, Surabaya. Kau tidak kecewa. Tetap gembira. Maka ketika kau hamil Calon Psikolog, aku berjanji kepada diriku sendiri, akan membersamaimu saat melahirkan anak ketiga. Kau tentu ingat, saat mengantarkanmu ke Klinik Bersalin di kota Ponorogo, dua belas kilo meter jaraknya, kita naik motor Suzuki AX 100, jam 23.00 malam! Namun kau tetap biasa saja. Tetap suka cita.

Istriku, kau inspirasiku. Ini adalah puisiku ketika kita di Ponorogo. Aku bersyukur melihatmu selalu penuh syukur. Syukurmu menginspirasiku:

Kita memang kaya, Di
punya motor Suzuki
belanja ke Pasar Legi tiap pagi
tak harus jalan kaki

Kita memang kaya, Di
punya meja kursi
lihatlah Mbah Radi
takada dingklik walau sebiji
hingga tamu pun harus berdiri

Kita memang kaya, Di
punya ranjang besi
Yu Siti tak punya dipan
bed apalagi
usai tidur tikar pun membekas di pipi

Kita memang kaya, Di
punya Ilman, Bila dan Haqi
kasihan Pakde Budi
belasan tahun menikah tak juga dianugerahi

maka, ingatlah selalu wasiat Nabi:
“Wahai bestari, tentang duniawi
lihatlah selalu ke bawah sisi
niscaya kau akan mengerti”

Ya, kita memang kaya, Di
sejak bisa syukuri nikmat Ilahi Rabbi..

Istriku, sungguh aku amat berterima kasih kepadamu. Berterima kasih atas segala pengorbananmu. Di Ngawi, kau menabungkan hampir semua uang gaji, sisa uang SPPD, honor mengajar, hasil bisnis penjualan madu, benih dan bibit Jati, dan lainnya, untuk tabungan hajiku, agar aku bisa menemani ibunda. Maka ketika aku berhaji, aku berdoa di Tanah Haram, di Masjidil Haram, di depan Multazam di Baitullah, di hari Jumat, di antara dua khutbah, kepada Yang Maha Kaya lagi Mahakuasa. Aku berdoa di tempat yang mulia, di waktu yang mulia, dengan cara yang mulia, dan hanya kepada Yang Mahamulia, agar kita bisa berziarah di Makkah al-Mukarramah, setiap tahun. Ya, setiap tahun. Aku memohon bisa membawamu menghadap-Nya. Sungguh, aku amat bersyukur bisa mengajakmu ziarah setahun kemudian:

Tuhanku,
kubawa istriku kepada-Mu
berkahilah ia seperti Engkau telah memberkahiku..
Kita umrah berdua ketika tinggal di Banyuwangi. Dan, insya Allah, akan selalu berdua. Istriku, tahukah kau, dimana kubuat kidung cinta ini? Benar! Aku membuatnya waktu kita berhaji bersama, dua hari usai Thawaf Ifadhah, tanggal 15 Dzulhijjah, pas bulan purnama. Waktu itu kita sudah pindah di Pati, Jawa Tengah.

Di Multazam
kudengar cerita semilir angin Masjidil Haram:
istriku
suka
bersuamikan aku

Oo, purnama Makkah
katakan kepadanya:
aku
cinta
dia..

Istriku, sungguh aku beruntung mempunyai istri sepertimu. Cantik, pintar, shaliha dan gemar bederma. Kau mudah terinspirasi, aku juga. Kau mudah tersentuh, aku juga. Kau berani bermimpi dan berdoa, aku juga. Kita satu frekuensi, satu chemistry, satu hati. Hingga kita bisa terharu bersama, setiap Jumat siang, saat teringat pasangan muda itu di Mal Sri Ratu Kediri kota. “Sajak Jumat Siang” ini kubuat karena terinspirasi mereka:

Seorang pemuda necis
tampilan eksekutif perusahaan establis
bergandeng riang bersama istri tersayang
mengarak belasan anak yatim di restoran ternama
dibiarkannya mereka pesan apa saja
mereka lahap hidangan lezat itu tanpa ba bi bu

lalu diajaknya anak-anak itu masuk supermarket waralaba:
“Anakku sayang, ambillah apapun yang kau suka
susu, buku atau gula-gula..”
mereka ceria serasa anak orang kaya
usai acara diantarnya mereka ke rumahnya satu satu
istrinya selipkan amplop putih di saku baju satu-satu
sungguh tak pernah kulihat wajah anak segembira itu

Tuhanku, gembirakanlah dia selalu
sebagaimana dia telah menggembirakan anak-anak yatim-Mu
dan anugerahkanlah kepadaku
kemudahan untuk meniru kebaikan itu..

Istriku, dua puluh dua tahun sudah kita menikah. Tuhan sungguh Maha Pemurah, berkenan memberi anugerah indah. Keluarga barakah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Berhiaskan anak yang shalih dan shaliha.

Istriku, di hari ulang tahun pernikahan kita yang kedua puluh dua, kau dengan suka cita menemaniku “Berbagi Inspirasi Lewat Profesi” di Kelas Inspirasi Indonesia Mengajar, Jawa Timur. Dengan segala pengorbananmu, sungguh, aku ingin memohon maaf kepadamu. Aku hanya bisa menjadikanmu wanita yang ketiga dalam hidupku. Aku tidak bisa menjadikanmu sebagai wanita yang kedua, apalagi yang pertama. Wanita pertama sudah menjadi jatah ibunda, dan wanita kedua ada sejak kelahiran anak kita yang shaliha. Namun, aku berjanji kepadamu, tak akan menjadikanmu wanita keempat, apalagi yang kelima. Tidak akan pernah.

Istriku, kekasih hatiku. Aminkan puisiku, aminkan kidungku, aminkan doaku. Agar aku bisa hidup sukses dan mulia di dunia. Dan mati masuk syurga. Kau juga:

Tuhanku, puluhan tahun lalu
aku berdoa kepada-Mu:
“Berilah aku istri yang shaliha
yang bisa membantuku masuk syurga”
sungguh syukurku tak berhingga kepada-Mu
hari ini duapuluh dua tahun sudah Engkau hadirkan bagiku sebuah karunia
seorang istri yang cantik dan shaliha
yang sudah memberiku syurga dunia
dan aku tak akan pernah lupa
untuk tetap memohon syurga akhirat-Mu senantiasa.. ***

YAHYA AMIN
Ngawi, Jatim

source : http://www.islamedia.web.id/2013/11/lomba-aytktm-kidung-cinta-untuk-istri.html